30 koleksi busana siap pakai itu terdiri dari baju-baju berpotongan modern dengan siluet sederhana dan elegan untuk perempuan dan laki-laki, seperti kemeja, gaun midi, blazer hingga long coat. Pilihan warnanya bervariasi dari warna-warna pastel, kecokelatan, biru tua hingga warna-warna terang mencolok.
Dea yang sudah delapan tahun berkiprah di dunia batik mulai bekerjasama dengan para difabel sejak 2013. Setelah melihat kinerja yang tak berbeda dengan orang-orang dengan panca indera lengkap, jumlah pekerja difabel di Batik Kultur semakin bertambah.
"Sekarang saya punya 120 karyawan yang basis produksinya di Semarang, 50 persennya adalah difabel. Pekerjaannya bermacam-macam, dari penjahit sampai fotografer produk," ujar Dea dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu.
Perempuan yang memulai perjalanan dengan berjualan batik Lawasan itu yakin semua orang berhak diberi kesempatan untuk berkarya, alasan yang membuatnya berkarya bersama para difabel.
Tema "Behind The Seams" dipilih Dea untuk mengapresiasi orang-orang di balik Batik Kultur yang "seperti jahitan, tidak terlihat tapi sangat penting".
Sejak November 2018, Dea mempersiapkan "Behind The Seams" yang dimulai dari nol. Ia merancang sendiri motif-motif batik, memadukan pakem dengan sentuhan modern, dari kain putih hingga menjadi kain batik tulis. Material yang dipilih terdiri dari katun, bordir, lurik sampai brokat.
Proses pengerjaan batiknya berlangsung di beberapa daerah, tergantung dari teknik spesialisasinya. Warna sogan dibuat di Solo, warna cerah di Pekalongan dan motif tenun dibuat di Jepara.
"Motifnya sejak awal dibuat sesuai dengan siluet busana," ujar Dea.
Semenjak mulai terjun ke dunia batik, Dea berkomitmen untuk menggunakan batik tulis demi memberdayakan para pengrajin.
"Agar poros perekonomiannya bergerak," ujar Dea yang mulai tertarik dan belajar soal batik sejak 16 tahun.
Baju-baju yang dibuatnya terdiri dari berbagai ukuran dengan model siap pakai yang nyaman untuk dikenakan sehari-hari.
Batik Kultur sudah memperkenalkan diri ke pasar Kanada, Australia dan Singapura, tapi saat ini Dea masih fokus pada pasar dalam negeri sebelum mengembangkan sayap ke banyak negara. Dia ingin memastikan produk-produknya berkualitas, tidak sekadar menjunjung kuantitas.
"Banyak tawaran, tapi pasar batik di Indonesia masih besar."
Baca juga: 30 perusahaan tawarkan kerja bagi disabilitas, sebut Menaker
Baca juga: Ekspor tenun dan batik dibidik naik 10 persen
Baca juga: Desainer cilik ikut perkenalkan Batik Bekasi di Lebanon
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ida Nurcahyani
COPYRIGHT © ANTARA 2019
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pemberdayaan difabel di balik koleksi Batik Kultur"
Post a Comment