Film itu menjadi karya film panjang pertama dari Jay Subyakto yang memiliki ketertarikan dan perhatian terhadap pulau Banda bersambut dengan tawaran yang datang dari Sheila Timothy untuk menduduki kursi sutradara.
"Film ini penting karena melupakan masa lalu, adalah sama dengan mematikan masa depan bangsa. Sangat penting Banda Neira buat bangsa kita karena di sini lahir banyak pemikiran, lahir banyak kepedihan, lahir banyak semangat, dan lahir banyak ironi yang terjadi sampai hari ini," kata Jay dalam sebuah pernyataan tertulis, Jumat.
Pengalaman pertama menyutradarai film panjang ini dikatakan Jay sebagai suatu pengalaman yang sangat mengesankan yaitu "melakukan suatu pekerjaan yang kita cintai dengan tim terbaik di negeri surgawi."
Irfan Ramli sebagai penulis naskah mengatakan "Banda, the Dark Forgotten Trail" adalah salah satu dari sedikit upaya untuk menegaskan relasi antara masa lampau dengan persoalan-persoalan kekinian.
"Menelusuri masa lampau artinya mempelajari apa yang terjadi dan yang akan terjadi, menjadi bagian dari identitas dan kesadaran komunal," ucap Irfan Ramli.
(Baca: Jay Subiyakto perdana sutradarai "Banda, The Dark Forgotten Trail")
Kepulauan Banda pada masa lalu menjadi salah satu kawasan paling diburu karena menghasilkan pala. Sejak diperkenalkan para pedagang Cina, pala menjadi salah satu komoditi rempah yang ditaksir dengan harga yang sangat tinggi. Bahkan, segenggam pala pernah dianggap lebih bernilai dari segenggam emas.
Hal tersebut membuat pedagang Cina menutupinya dengan kain sutera kemudian "Jalur Sutera" menjadi dikenal dunia padahal sebenarnya merupakan usaha menutupi jalur rempah. Namun kebenaran sesungguhnya, karena pala maka ekspedisi-ekspedisi besar dari Eropa bergerak dan saling berlomba menuju pulau kecil di Timur ini.
Sejarah Banda penuh dengan kesedihan. Masa depan Banda dan pala berubah saat Jan Pieterszoon Coen yang berbendera VOC tiba dan melakukan aksi pembantaian pada tahun 1621.
Setelah itu, terjadi eksodus yang mengakibatkan penduduk asli Banda sulit ditemukan terutama di kepulauan Banda. Di sisi lain, eksodus besar-besaran itu menjadikan Banda sebuah kawasan unik yang dihuni beragam suku bangsa di Nusantara, Arab, Tionghoa, dan Eropa. Masyarakat itulah yang membentuk masyarakat Banda hari ini.
(Baca: Film dokumenter sejarah rempah Nusantara akan tayang di Amsterdam)
Mengisahkan kehidupan di Kepulauan Banda dan pala saat ini adalah mengisahkan kisah-kisah tersembunyi yang membentuk kehidupan manusia hari ini. Kepulauan Banda dengan pala pada satu masa telah menjadi penyebab migrasi manusia secara besar-besaran dari satu kawasan ke kawasan lain dan menciptakan ruang akulturasi bangsa dari seluruh penjuru dunia.
Saat ini Banda bertahan dengan industri perikanan dan pariwisata bawah lautnya. Pala banda yang pernah menjadi bagian penting dalam sejarah penjelajahan, saat ini dihadapkan dengan kenyataan tidak lebih dari sekadar komoditas sampingan karena tidak adanya inovasi dan kebaruan.
Sheila Timothy selaku produser "Banda, the Dark Forgotten Trail" berharap, "Semoga film ini dapat dinikmati oleh seluruh pencinta film nasional, dan sejarah Banda dapat kembali diingat untuk dijadikan semangat dan harapan untuk Indonesia di masa depan."
"Banda, the Dark Forgotten Trail" tayang serentak mulai 3 Agustus 2017 di jaringan bioskop nasional.
Film panjang dokumenter itu diproduksi oleh Lifelike Pictures, yang diproduseri oleh Sheila Timothy dan Abduh Aziz. Naskah ditulis oleh Irfan Ramli (penulis "Cahaya Dari Timur", "Surat Dari Praha" dan "Filosofi Kopi 2") dan disutradarai oleh Jay Subyakto.
Departemen Kamera dipimpin oleh Sinematografer Ipung Rachmat Syaiful, ICS dengan didukung oleh second unit camera Davy Linggar dan Oscar Motuloh.
COPYRIGHT © ANTARA2017
Baca Kelanjutan "Banda, the Dark Forgotten Trail": kisah Kepulauan Banda, pala dan Jalur Sutera : http://ift.tt/2uPfDlIBagikan Berita Ini
0 Response to ""Banda, the Dark Forgotten Trail": kisah Kepulauan Banda, pala dan Jalur Sutera"
Post a Comment