Search

MRT Jakarta, munculnya kultur baru bertransportasi dan jalan kaki

Warga Jakarta harus siap mengadopsi kultur yang berlaku di tingkat global, salah satunya terlatih berjalan kaki.

Jakarta (ANTARA News) - Kereta cepat massal atau Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta segera beroperasi diperkirakan akan menjadikan Jakarta menjadi salah satu  kota di dunia yang mengadopsi tren moda transportasi khas kota yakni, massal, cepat, dan terjangkau.

Antropolog dari Universitas Indonesia, Dr. Semiarto Aji Purwanto menilai MRT merupakan sebuah keharusan untuk dimiliki kota, karena menjadi salah satu indikator keberhasilan pemerintah kota.

"Tawaran dalam bentuk komparatif dengan kota-kota di dunia, MRT menjadi semacam indikator dari keberhasilan pemerintah kota menyediakan pelayanan transportasi yang baik kepada warganya. MRT menjadi suatu keharusan kota. Trennya sekarang MRT," ujar dia saat ditemui di kampus Universitas Indonesia, Depok, belum lama ini.

Walau dia tak menyangkal, sebenarnya kebutuhan masyarakat pada moda yang cepat, massal dan terjangkau perlahan mulai terpenuhi dengan wajah baru KRL dan transjakarta. Kehadiran MRT, bisa menjadi obat lain mengatasi kerinduan masyarakat pada transportasi dengan tiga hal itu.

Apalagi tawaran tarif Rp 8500 per 10 km jarak tempuh yang menurut Aji, termasuk relatif terjangkau.

"Dalam konteks kota lain di dunia, dalam komparasi, pelayanan transportasi yang lebih efisien ini adalah mass (masal), rapid (cepat) dan murah. Rp 8500 per 10 km, menurut saya sangat oke," kata dia.

Hanya saja, perlukah MRT Jakarta memiliki sebuah kekhasan ataukah sama saja seperti di kota lainnya? "Saya berharap ada local content. Dalam konteks material seperti desain, aksesoris, kartu-kartunya. Kalau dalam konteks ide dan perilaku, penyediaan fasilitas pada warga kota," tutur Aji.

Terbentuk budaya baru

Pada satu sisi, MRT dan moda transportasi berbasis teknologi memunculkan kultur baru pengguna, mulai disiplin hingga lebih terikat pada jadwal. Budaya yang sebenarnya sudah mulai terbentuk sejak membaiknya fasilitas KRL dan hadirnya transjakarta.

Perilaku pengguna yang semula seenaknya misalnya merokok di dalam angkutan, duduk semaunya, perlahan berubah.

"Menggunakan transportasi massal seenak kita. Kemudian muncul pengaturan. Transjakarta, contoh yang sangat disiplin. Ada persoalan teknologi yang menuntut sisi disiplin oleh operatornya. Transjakarta bisa berhenti di mana saja, tetapi orang tidak bisa turun (di mana saja). Setelah ada teknologi, kita bisa memaksa, mengontrol, membuat tidak ada piilihan," tutur dia.

"Naik transjakarta kalau mau cepat dan caranya begini. Berangsur-angsur, yang tadinya memakai uang tunai menjadi kartu. Itu contoh bagus bagaimana perubahan kultur dalam transportasi transjakarta," sambung Aji.

Dia menilai memang ada semacam culture shock di masa awal, namun perlahan hal ini terlupakan mengingat learning capasity pengguna transportasi di negeri ini sangat cepat.

"Shock budaya tetap ada. Keluhan-keluhan manja, jauh jalannya, panas. Masih shock dan fasilitas belum mendukung ke sana. Kalau dari Gambir ke balaikota bisa lewat bawah. Dalam berbagai studi, MRT dan transportasi massal lainnya mengajarkan disiplin, punctuality," tutur Aji.

Di sisi lain, sifat individual yang tinggi--menjadi kekhasan masyarakat perkotaan pada umumnya juga akan muncul. Terlepas dari positif dan negatif, hal ini berujung pada hadirnya rasa respect.

"Di Jakarta, kota. Tetapi individual culture belum terbentuk. Kita peisan di Jakarta. MRT dan segala macam tata tertib akan mendorong pada individualism yang kuat. Itu bukan persoalan positif atau negatif. Dari situ muncul respek pada orang lain. Belum terlalu tumbuh. Di tingkat ide belum terlalu muncul," ungkap Aji.

Selain itu, bila merujuk pada kota-kota di negara maju, stasiun MRT biasanya terintegrasi dengan pusat ekonomi seperti mal, pasar dan kondisi serupa bisa terjadi di tanah air. Akibatnya, kebiasaan konsumtif masyarakat akan semakin terfasilitasi.

"Stasiun akan rugi kalau enggak membuka business center, dari hal-hal primer, sekunder, tersier," kata Aji.

"Dipaksa" jalan kaki

Masyarakat kota Jakarta dan pengguna transportasi di sana melalui hadirnya MRT nantinya bisa mengidentifikasikan diri sama seperti warga kota di tingkat global.

Dengan begitu, mereka juga harus siap mengadopsi kultur yang berlaku di tingkat global, salah satunya terlatih berjalan kaki.

Ahli gizi, olahraga yang juga pemerhati gaya hidup, Jansen Ongko mendukung hal ini. Secara yakin, dia menyatakan MRT bisa menjadi sarana meningkatkan jumlah pejalan kaki.

"Karena yang membuat masyarakat Indonesia, khususnya di perkotaan seperti Jakarta, menyabet predikat the laziest walkers in the world oleh salah satu penelitian adalah karena minimnya infrastruktur pendukung. Dengan adanya MRT otomatis akan meningkatkan jumlah pejalan kaki, setidaknya mereka yang menggunakan fasilitas tersebut," papar dia dalam kesempatan berbeda.

Menurut pria lulusan Nutrition, Dietetics and Food Science di California State University itu akan terjadi jika infrastruktur bagi pejalan kaki memadai dari sisi kenyamanan dan keamanan.

Hanya saja, sebagian orang masih menganggap remeh berjalan kaki. Padahal bila rutin dilakukan, perilaku ini memiliki segudang manfaat untuk kesehatan tubuh, mulai dari menurunkan tingkat stres, memperbaiki suasana hati, menyehatkan jantung dan menurunkan berat badan.

"Dengan rutin berjalan kaki, program menurunkan berat badan menjadi lebih mudah karena tidak merasa sedang berolahraga," ujar Jansen.

Salah satu warga kota Jakarta, Indriyani Astuti mengaku tak masalah jika harus berjalan kaki demi mengakses MRT. Asalkan, moda ini terintegrasi dengan transjakarta atau KRL.

"Enggak masalah (jalan kaki). Asalkan MRT terintegrasi dengan transjakarta atau dengan KRL. Kalau terpisah-pisah enggak efisien," ujar dia dalam sebuah kesempatan.

Baca juga: Tarif MRT Jakarta Rp8.500, Menhub: masuk akal

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ganet Dirgantara
COPYRIGHT © ANTARA 2019

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan MRT Jakarta, munculnya kultur baru bertransportasi dan jalan kaki : http://bit.ly/2TVir9K

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "MRT Jakarta, munculnya kultur baru bertransportasi dan jalan kaki"

Post a Comment

Powered by Blogger.